Cikarang Pusat, 17 Juli 2025 — ZONABEKASI.ID – Pemerintah Kabupaten Bekasi kembali merayakan Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) ke-78 dengan meriah. Namun di balik barisan upacara, tumpeng kompetisi, dan euforia dekorasi merah putih, muncul pertanyaan yang lebih dalam: sudah sejauh mana koperasi benar-benar menjawab kebutuhan ekonomi masyarakat Kabupaten Bekasi?
Di halaman Plaza Pemkab Bekasi, puluhan stand koperasi dari berbagai wilayah memamerkan produk, semangat, dan struktur kelembagaan. Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Bekasi, Ida Farida, menjelaskan bahwa seluruh rangkaian acara terlaksana atas swadaya pelaku koperasi, sebagai bentuk gotong royong.
“Ini murni hasil kerja sama para pelaku koperasi. Dari kita, oleh kita, dan untuk kita,” ucap Ida penuh bangga.
Namun kebanggaan ini belum tentu mencerminkan fungsi koperasi yang utuh sebagai penopang ekonomi rakyat. Terlalu sering koperasi di desa hanya menjadi formalitas. Sudah berapa koperasi yang beroperasi secara nyata? Berapa yang hanya ‘jadi’ saat ada proyek?
Koperasi Merah Putih: Program Ambisius yang Rentan Gagal Bila Tak Diawasi
Ida menyebut bahwa Koperasi Merah Putih kini telah terbentuk di seluruh desa dan kelurahan di Kabupaten Bekasi. Bahkan, peluncuran percontohan dijadwalkan berlangsung pada 21 Juli mendatang.
Namun, pengusaha dan tokoh masyarakat H. Moris dari Pasirsari memberikan catatan tajam:
“Kita bukan kekurangan koperasi. Kita kekurangan koperasi yang hidup. Yang bekerja. Yang menjual barang murah. Yang memberi pinjaman produktif. Jangan sampai Koperasi Merah Putih ini cuma jadi proyek dengan nama nasionalis tapi tak menyentuh ekonomi rakyat.”
Ia menegaskan bahwa koperasi di lapangan sering kali terjebak dalam kepengurusan yang lemah, modal macet, hingga minim pendampingan.
“Yang diperlukan sekarang adalah evaluasi menyeluruh. Mana koperasi yang fiktif, mana yang aktif. Publikasikan itu. Jangan sampai rakyat hanya dijadikan alat statistik.”
Dana LPDB dan BUMN: Diberikan ke Siapa, Dikelola Bagaimana?
Dalam pidatonya, Ida juga memaparkan bahwa Koperasi Merah Putih akan mendapat dukungan dana lunak dari LPDB dan kolaborasi BUMN seperti Pertamina, Kimia Farma, dan Bulog. Ini tampak menjanjikan — jika tepat sasaran.
Namun pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa akses dana besar tanpa pengawasan ketat sering kali berujung pada kebocoran, tumpang tindih kepentingan, bahkan kredit macet.
“Kalau dana LPDB miliaran itu jatuh ke koperasi yang tidak sehat, ya selesai sudah. Uangnya hilang, kepercayaan masyarakat juga hilang,” kritik H. Moris.
Evaluasi Berkala dan Audit Koperasi Wajib Dilakukan
Sudah saatnya Pemkab Bekasi mengambil langkah tegas: audit koperasi secara menyeluruh, terbitkan daftar koperasi aktif, tidak aktif, dan bermasalah. Jangan biarkan koperasi hanya jadi stempel program unggulan tahunan.
“Kalau memang koperasi dipercaya bisa membangkitkan ekonomi desa, ya buktikan dengan data, dampak, dan angka, bukan dengan seremoni,” tegas Moris.
Ia juga mendorong agar setiap dana publik atau kerja sama dengan BUMN dipublikasikan secara terbuka, agar tidak menimbulkan kecurigaan dan praktik nepotisme dalam penyaluran program.
Perayaan koperasi tidak boleh berhenti di seremoni. Gerakan koperasi harus menjadi kekuatan nyata yang melindungi rakyat dari inflasi, ketergantungan pada rentenir, dan dominasi pasar oleh ritel besar. Koperasi Merah Putih adalah ide besar, tapi hanya akan jadi narasi kosong bila tak dibarengi transparansi, pengawasan, dan ketegasan politik anggaran.
Bekasi, dan Indonesia, tak butuh koperasi yang hanya hidup di baliho. Kita butuh koperasi yang hidup di pasar, di sawah, di warung, dan di dompet rakyat.